KERDIP LENTERA

Rubrik Kerdip Lentera merupakan wadah karya bagi seluruh warga SMKN 1 Bojonegoro. Rubrik ini akan terbit pada akhir pekan. Silakan menulis puisi, cerpen, komik, maupun karikatur dikirimkan ke tim Jurnalis. (ilustrasi:NYOMOTGOOGLE)/vol.9

Pembaca yang budiman, berikut ini adalah cerpen karya  CHELSEA kelas XI PKM 1, selamat membaca…

(BUKAN) SITI NURBAYA

Semalaman aku terjaga di kamarku,  tak ada siapapun disini, sunyi. Tapi tidak dengan isi kepalaku. Kejadian hari ini masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bagaimana Masjudi menampariku, bagaimana Masjudi menyiksaku, bagaimana luka di sekujur tubuhku masih basah. Aku bisa mati gila jika seperti ini. Isi kepalaku terus mengatakan “Aku Bukan Siti Nurbaya”. Semalaman aku terjaga dengan kondisi seperti ini. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Aku mulai melangkah keluar rumah, ibu dan ayahku mungkin saja tidak sadar akan kepergianku, aku tidak peduli lagi jika mereka mencari-cariku hingga ke pelosok negeri ini. Aku ingin meninggalkan semua kegilaan ini di sini. Aku berjalan menyusuri jalanan berbatu ini dengan terseok-seok, tak ada orang yang tahu. Mungkin jika ada orang yang melintasi jalan ini, aku akan dianggap korban kecelakaan yang kabur dari rumah sakit, atau mungkin orang gila yang kabur dari RSJ.
Sudah sekitar 2 km aku berjalan tak tentu arah. Aku lelah ,letih, lapar, tapi tak ada yang bisa ku lakukan. Terpaksa aku mengobrak-abrik tong sampah bau di perempatan jalan, berharap ada sisa makanan yang bisa kumakan. Alih-alih makanan, aku justru menemukan kalung berliontin bulan, kalung itu sudah kuno, tapi hal itu malah membuat kalung itu menjadi lebih memukau. Keindahannya mungkin saja bisa menyaingi bulan diatas sana. Aku tergoda untuk memakainya, lagipula siapa yang akan memergokiku mengambil benda seperti ini tengah malam. Aku berencana untuk menjual kalung itu pagi nanti. Mungkin saja uang itu cukup untuk membeli sebungkus nasi. Tapi belum sempat aku beranjak, entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan tubuhku, kepalaku pusing bukan main, tubuhku lemas dan seketika itu aku ambruk.
~[◇]~
Mataku masih tertutup, tapi aku bisa merasakan aku terbaring di atas benda yang empuk, aku juga mencium aroma wangi dari aroma lavender. Aku membuka mataku, sepertinya aku berada di sebuah kamar. Tapi tunggu, dimana ini? Seolah terpental ke dimensi ruang dan waktu yang berbeda, aku merasa kebingungan saat ini. Aku masih belum bisa menalar apa yang sebenarnya terjadi padaku. Aku bangun dari ranjang tempatku berbaring, aku masih terheran-heran dan tak percaya apa yang sedang kulihat sekarang. Di samping ranjang ada lemari besar kaca yang mungkin saja harganya bisa untuk membiayai hidupku selama 7 tahun, mataku terbelalak melihat baju -baju mewah seharga rumah bergantungan penuh di dalam lemari itu. Sofa, meja, rak, semua benda di kamar ini terlihat serba modern. Ini pasti hanya mimpi. Aku masih ingat bagaimana aku ambruk di jalan berbatu itu. Seketika itu aku ingat
“oh, ya kalung,” aku melihat kalung itu masih berada di leher ku. Apa karena kalung ini?
~[○]~
Setelah puas melihat lihat, aku memutuskan untuk keluar kamar, tapi belum sempat aku membuka pintu, seseorang mengetuk pintu
Tok tok tok tok
Aku bertanya tanya siapa perempuan yang ada di depanku, aku makin heran saat ia memanggilku nyonya,
“Tuan sudah menunggu di meja makan, saya akan membersihkan kamar nyonya,” apa katanya? Tuan? Sejak kapan aku punya suami.
“Bisa tolong antar saya kesana?” aku penasaran siapa seseorang yang dipanggilnya tuan itu.
Ia mengangguk sambil mengulas senyum, tanda bahwa ia mengiyakan.
~[♤]~
Sepanjang perjalanan menuju ke meja makan, aku hananya bisa terkagum melihat betapa mewahnya rumah ini. Padahal hanya berjalan ke meja makan, tapi aku serasa mengitari satu desa, aku tidak bisa membayangkan betapa luasnya rumah ini. Aku sampai di ruang makan, di salah satu kursinya ada seseorang yang sedang menyantap hidangan di depannya.
“Mas Firman?”
Aku tak percaya, mengapa mas Firman ada di sini? Bukankah ia sekarang ada dipenjara karena kelakuan Masjudi? Tapi terlepas dari itu, aku senang bukan kepalang bisa melihat Mas Firman disini.
“Mas Firman, ini kamu kan?” tak ada jawaban. Laki laki itu hanya diam.
“Firman? Siapa Firman?”akhirnya ia angkat bicara. Tapi setelahnya aku kebingunggan dengan ucapannya. Jadi, siapa dia?

Laki laki tadi mulai beranjak meninggalkan ruangan ini tanpa sekatah kata. Aku hampir menggerutu, mengutuki laki laki tadi jika saja ia tidak lekas pergi dari ruang ini.
Untung saja mukanya mirip Mas Firman (batinku)

Sudah tak kupedulikan kejadian tadi. Setelah seseorang meletakkan sepiring makanan di depanku seraya berkata “silahkan nyonya” dan tanpa pikir panjang aku menghabiskan makanan di depanku. Setidaknya aku beruntung bisa datang ke sini. Berlagak menjadi nyonya di rumah mewah. Menyantap makanan mahal yang membuatku lupa diri.
~[♡]~
Siang ini aku diajak berkeliling oleh salah satu pelayan di rumah ini. Seseorang yang aku temui pagi tadi. Sepertinya dia lebih seperti asisten pribadiku. Mungkin? Aku berpikir demikian karena pakaiannya terlihat berbeda dari pelayan lain di rumah ini.
Ia bercerita tentang rumah yang ternyata hunian seseorang bernama Eric yang merupakan suami dari pemilik raga yang sekarang telah kuhuni. Tunggu, mengapa ia menceritakan itu, seolah-olah tau jika aku tak tahu apa-apa tentang keadaan disini.

“Nyonya pasti masih bingung apa yang terjadi sebenarnya, tak apa, saya akan menjelaskan satu persatu”
“2 bulan yang lalu nyonya pernah jatuh dari tangga, kecelakan itu menyebabkan nyonya mengalami amnesia dan sekarang sedang menjalani masa pemulihan.”
Aku tak tahu harus menanggapi apa. Mulutku tiba tiba bungkam. Otakku menebak nebak apa yang sebenarnya terjadi. Apa karena hal itu aku bisa berada disini?
~[□]~
Terkadang aku berpikir kalau menyenangkan bisa berada disini. Aku tak perlu memikirkan tunggakan listrik, tak risau akan makan apa besok, tak perlu sembunyi dari para rentenir setiap awal bulan. Disini aku hanya perlu menikmati kekayaan pasanganku. Pergi mengelilingi dunia jika aku mau. Tapi sayang, aku mulai sadar ini memang bukan kehidupanku yang sebenarnya.

Tak sadar kami sampai di sebuah danau. Tak terlalu luas. Tapi sepertinya cukup dalam. Di samping tempatku berdiri, ada sebuah pohon pinus yang menjulang tinggi. Aku penasaran dan mendekati danau itu, tapi saat aku melihat lebih dekat, kepalaku pusing bukan main, tiba tiba saja muncul adegan seorang perempuan menceburkan dirinya ke danau, lebih terkejutnya aku ketika melihat wajah perempuan itu yang mirip dengan diriku. Apakah perempuan itu adalah istri Eric? Aku mulai kehilangan keseimbangan, pengelihatanku kabur, sekarang aku tak bisa melihat apa apa, gelap.
~[¤]~
Aku membuka mataku dan mendapati diriku berada di sofa sebuah ruangan, ruangan yang tembok dan atapnya terbuat dari kaca dan dipenuhi tanaman di sana sininya.
“Nyonya sudah bangun?” Pelayan tadi menghampiriku sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Novi kau baik baik saja kan?” Masjudi? Kenapa Masjudi ada di sini?
“Sedang apa kau disini?” Aku bisa saja menyiramnya dengan teh panas kalau saja tubuhku tidak lemas.
“Ak….”
“Saya mau kembali ke rumah.” Belum sempat menyelesaikan kata katanya aku segera memotong perkataan laki laki itu dan memutuskan untuk kembali. Aku sudah tidak peduli lagi siapa laki laki itu, melihat wajahnya yang mirip Masjudi makin mengingatkanku akan kelakuan Masjudi yang brengsek.
~[♤]~
Langit perlahan lahan menggelap, bulan dan bintang berlomba lomba menampakkan sinarnya. Sayangnya, perlahan lahan cahayanya memudar, digantikan dengan awan hitam dan suara guntur. Tak lama setelah itu hujan pun turun dengan derasnya. Kini aku memilih untuk merebahkan diri di kasur, menikmati bagaimana suara hujan yang menenangkan bagaikan lagu tidur.
Merasa bosan, aku terpikir untuk menjelajahi ruangan ini. Mencoba baju baju mewah yang tak pernah terpikirkan aku bisa mengenakannya. Mencoba sepatu sepatu mahal yang sangat kuimpikan aku bisa membelinya. Sampai aku membuka laci di bawah lemari. Alih alih perhiasan, aku justru menemukan sekotak kapsul dan pil dengan tutup yang masih terbuka hingga isinya bertebaran. Aku membuka notebook bertuliskan nama Novi disampulnya yang berada di samping kotak kapsul itu.

Minggu, 18 Agustus 2008

‘Kadang langit malam akan dipenuhi oleh bintang, kadang juga tidak. Sama seperti kehidupan, terdapat satu fase dimana ada banyak orang disisi kita, tapi ada saat ketika kita sendirian’

Entah kapan tepatnya, kau pernah mengucapkan itu di sebuah malam berbintang, saat kita sedang menikmati mie ayam di pinggir jalan perempatan. Sederhana, tapi kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Aku merasa beruntung bisa bertemu seseorang sepertimu. Aku berharap suatu saat nanti kau yang akan menjadi takdirku. Tapi nyatanya tidak, hatiku kacau bukan main saat tahu bahwa aku akan dijodohkan dengan orang tak pernah kutemui sebelumnya. Perusahaan ayahku bangkrut. Keluargaku terlilit hutang. Aku tak bisa melakukan apa apa selain menuruti perkataan ibuku.
Maaf Jody.

Senin, 19 Agustus 2008

Malam itu kita duduk di teras rumah. Berbincang mengenai hal hal kecil. Memandangi bulan dan bintang yang tampak indah dilihat dari bumi.
Waktu itu kau bertanya padaku apa yang aku inginkan dan kau bilang akan mengabulkannya. Aku bimbang, tak tau harus berkata apa. Jika aku berkata yang sejujurnya, apa keinginanku akan benar benar terwujud? Seandainya semua berjalan seperti yang kuinginkan. Aku hanya ingin hidup. Hidup yang sepenuhnya milikku. Aku ingin membangun keluarga kecil denganmu dan hidup sederhana di tengah hiruk pikuk kota. Tapi sekarang aku telah putus asa. Maaf, aku menyerah dengan keadaan ini.

Itu adalah lembar terakhir dari buku catatan ini. Aku tak bisa berkata kata setelah membaca notebook itu. Jadi sebenarnya itu bukan kecelakaan biasa?
~[¤]~
Suara alarm jam membangunkanku, menyeret paksa diriku untuk bangun dari tidurku. Kelopak mataku terlalu berat untuk menatap langit langit kamar. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk bangun, aku masih tidak bisa menalar apa yang harus kulakukan saat itu. Berada di tempat ini bahkan membuat diriku merasa asing dengan diriku sendiri.
Aku melangkah keluar kamar karena perutku keroncongan bukan main.
“Novi!” Seorang menghampiriku yang sepertinya adalah ibu mertuaku. Mungkin? Terlihat dari bajunya yang seperti ibu ibu konglomerat.
“Sudah makan atau belum? Kamu baik baik saja kan? Kepalamu masih sakit?” Aku tak habis pikir dengan kelakuan Novi yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya padahal kehidupannya adalah impian banyak orang.
“Sudah ma,” padahal cacing cacing di perutku sudah menjerit kelaparan tapi aku malah berbohong. Tapi jika aku tak berkata demikian, bisa-bisa mertuaku berpikir anaknya telah menikahi orang gila karena melihatku memakai piyama dengan wajah yang penuh air liur berlarian kesana kemari mencari sesuatu untuk dimakan.
“Baguslah kalau begitu, mau mama buatkan bubur?” Tawarnya
“Emmm boleh,” aku sudah tak peduli lagi dengan rasa gengsiku. Aku pergi setelah mama menggandeng tanganku untuk menuju ruang makan.
Aku belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu sebelumnga. Tapi disini aku mendapatkannya tapi sayang ia bukan siapa siapaku.
~[♤]~
Sore ini aku duduk di teras rumah setelah puas berbelanja. Menikmati secangkir teh dan memandangi matahari yang mulai kembali ke tempat peraduannya.
“Jangan lupa, nanti malam ada acara makan malam kantor. Aku tunggu jam 07.00 tepat” entah dari mana Eric tiba tiba muncul didepan pintu.
Cihh menanyakan kabarku saja tidak pernah, sikapnya sangat bertolak belakang dengan Mas Firman. Jelas, Mas Firman tetap saja Mas Firman tak ada yang seperti Mas Firman.
“Eric!”
Eric menghentikan langkahnya.
“Apa kau menyesal pernah menikahiku?” Itu adalah pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan pada Eric
Hening
Eric tidak menjawab, ia melangkahkan kakinya dan menghilang dibalik pintu.

Alih alih pergi ke makan malam kantor itu.
Aku mati matian membujuk Eric agar mampir sebentar ke rumah orang tua Novi.
“Novi, kamu kok tidak bilang jika mau datang?” Aku disambut oleh seseorang yang sepertinya adalah ibu Novi?
“Novi hanya mau melihat keadaan ibu,” sebenarnya itu hanya alasan supaya aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Novi. Sebenarnya aku tipe orang yang bodoamat terhadap urusan orang lain. Tapi entah kenapa aku ingin tahu sekali tentang hal ini.
“Seharusnya ibu yang menghawatirkanmu,” raut wajahnya cemas, tapi aku tidak yakin itu memang tulus.
“Novi tidak apa apa bu,” kataku berusaha meyakinkan.

Eric terlihat sedang berbincang bincang di depan rumah bersama ayahku. Entah membicarakan hal apa. Aku memutuskan untuk memasuki kamarku. Menelusuri lebih jauh tentang masa lalu Novi. Tak ada yang mencurigakan dari kamar Novi, seperti kamar gadis perempuan biasa. Aku berusaha mengobrak abrik kamarnya, mencari cari album foto atau benda semacamnya. Aku tak perduli jika orang lain mengataiku lancang, toh mereka juga tidak akan tahu jika aku bukan Novi yang mereka kenal
Ketemu! Aku menemukan album foto yang berada di antara tumpukan buku. Aku mulai membuka album foto itu, aku melihat foto Novi yang berusia 5 tahun sedang meniup lilin yang tertancap diatas kue tart. Lalu, foto Novi bermain mobil mobilan bersama anak laki laki. Tunggu, mengapa Novi tidak bermain bersama anak gadis seusianya dan justru bersama anak laki laki. Saat membuka halaman berikutnya aku terkejut mengetahui foto Novi bersama Masjudi, selalu ada foto Masjudi di setiap halamannya. Sebenarnya apa hubunganku dengan Masjudi?

Aku memutuskan untuk pamit setelah merasa cukup untuk mencari informasi tentang Novi. Tapi tiba tiba saja aku terdiam dengan perkataan ibu Novi.
“Novi, jadi istri yang penurut ingat kita berhutang banyak pada keluarga Eric, hanya kamu satu satunya harapan ibu”
Deg..
Jantungku seakan berhenti berdetak. Jadi benar apa yang dikatakan Novi di buku catatan itu.

~[♡]~

Aku berdiri di tepi danau ini lagi. Aku merasa ada yang aneh dengan kejadian waktu itu. Kupandangi air danau itu. Kepalaku mulai pusing, kali ini aku memilih untuk tetap kuat tapi aku tak bisa. Pandanganku menggelap. Setelahnya aku ambruk.

2 bulan sebelumnya…
Novi berdiri di tepi danau, ia merasa putus asa dengan hidupnya. Wajahnya pucat seperti mayat hidup. Bahkan ia sudah tak mampu untuk meneteskan air matanya lagi. Ia pandangi air danau yang tenang itu. Andai saja ia juga bisa menjadi air danau yang tenang dan damai itu. Sedetik kemudian ia menceburkan dirinya ke dalam danau. Sebenarnya Novi bisa saja berenang untuk tak jadi melakukan hal itu tapi Novi memilih untuk membiarkan tubuhnya tenggelam bersama dinginnya air. Novi mulai kehabisan nafas, tapi seketika itu Eric datang menyelamatkan Novi membawanya ke tepian danau. Nafas keduanya tengerengah engah. Novi justru menepis tangan Eric dan pergi begitu saja.
“Novi!” Eric memanggil Novi, berharap Novi mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Novi justru tak menghiraukan teriakan Eric dan semakin pergi menjauh. Novi berjalan menuju halaman rumah dengan baju yang masih basah kuyub. Ia menaiki tangga sebelum akhirnya seorang pelayan menjumpai Novi dengan kondisi seperti itu.
“Nyonya tidak apa apa?” Pelayan tadi panik, berusaha mendekati Novi.
“Pergi! Kau bukan ibuku! Kenapa.. kenapa aku harus lahir dari rahimmu! Aku benci padamu!” Seolah yang dilihatnya adalah ibunya, Novi mengacung acungkan jarinya pada pelayan tadi.
Tanpa ia sadari, Novi mulai melangkah mundur. Ia terpeleset dan terjatuh dari tangga. Darah segar keluar dari kepalanya. Kesadarannya mulai hilang dan saat itu yang ia lihat hanya kegelapan. Novi tak sadarkan diri.
~[♤]~
Angin malam menusuk tulangku saat aku membuka balkon kamarku. Hari ini bulan sendirian. Tak seperti biasanya, tak ada bintang yang ikut menemaninya. Aku berada di kamar setelah seorang pelayan menemukanku tergeletak di tepi danau. Aku menghampiri Eric yang sedang sibuk dengan layar laptopnya.
“Jika aku benar benar tewas saat itu, apa kau akan menyesal?” Jari jari Eric yang semula sibuk mengetik di papan keyboard tiba tiba berhenti.
“Aku tahu, tak mudah,”
“Tapi apa kau mau berusaha untuk menerima Novi,” seolah bicara mengenai orang lain, aku berterus terang padanya.
“Siapa kau?”
“Aku bukan Novi yang kau kenal, kau pasti tahu itu, Novi yang asli tak pernah mau berbelanja barang barang mewah dari hasil jerih payahmu karena ia merasa tak pantas. Novi merasa dirinya hanya jadi aset keluarganya yang bisa dioerjualbelikan kapan saja mereka mau.”
“Tapi apa kau pernah mengagapnya ada?” Sambungku
“Maaf” katanya lirih.
“Seharusnya kata kata itu bukan untukku, kau bisa mengatakannya pada Novi yang sebenarnya.” Aku pergi meninggalkan Eric yang sedang merenung akan perbuatannya. Aku membiarkan ia bertikai dengan isi kepalanya.
Aku mengambil notebook Novi. Menuliskan beberapa baris kalimat yang barangkali bisa ia baca saat ia kembali keraganya.
Aku merebahkan diriku ke kasur, semoga semuanya akan kembali seperti semula. Aku tak berhak berada disini setelah apa yang dialami Novi. Pada akhirnya, aku akan kembali pada kehidupanku yang sebenarnya.
~[■]~
Aku tergeletak dijalan berbatu di perempatan jalan. Kenapa harus di jalan ini lagi? Tetap saja ini tak adil jika aku harus bangun di jalan yang kasar seperti ini, sedangkan Novi bangun di atas ranjang yang empuk. Aku menepuk nepuk bajuku sambil mendengus kesal. Tapi mau bagaimana lagi aku harus kembali kerumah. Kembali pada keadaan ku yang sesungguhnya.
Aku berjalan menyusuri jalan ini. Saat sampai di pekarangan rumah, aku memantapkan diri untuk masuk.
Tapi belum sampai aku di pintu rumah Mas Firman, ibu dan ayahku sudah berada di ruang tamu. Mas Firman terlihat sibuk menelepon seseorang. Raut wajah ayah dan ibuku sedang cemas.
“Kau dari mana saja Novi buat orang tuamu ini cemas saja,” ibuku menghampiriku terlihat sangat mencemaskanku.
“Novi, kau tak apa apa kan?” Mas Firman mengampiriku, tapi bagaimana Mas Firman bisa ada disini?
Aku tak tahu apa yang terjadi padaku setelah aku pergi. Tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih. Terimakasih Novi.
—————-‐—————–

Terkadang sesuatu tak berjalan seperti yang kita inginkan, tapi terimakasih karena telah mau bertahan sampai saat iini

Ketika suatu hal terasa buruk. Lihatlah ke langit, kau tak pernah sendirian. Setelah hujan yang lebat dan angin yang kencang, matahari akan bersinar lagi.
————————————

SAHABAT SASTRA SMKN 1 BOJONEGORO, BERIKUT INI ADALAH PUISI-PUISI NISZA ZUMAROH KELAS X PH 2, SELAMAT MENIKMATI….

Hujan pelosok kota

 

Jika kita langit maka kamu jauh,

Bumiku ialah tempat dimana kamu akan jatuh.

Warna biru itu kilaumu dan ia laut,

Ombakmu adalah ke mana aku akan selalu ikut.

 

Ranah mu telan kota-kota.

Hingga sang raja siang,

Tenggelam bersama sangsara.

Sedang aku bagai pualam bisu ribu bahasa,

Kamu bertutur tanpa tau koma.

 

Kamu ajak aku jelajah buana maya

Berfantasi tanpa tahu norma

Berisi panorama penuh asmara

Di panggung sandiwara

 

Kamu bagai entitas dalam berbentuk lingkaran

Objek yang tak berkesudutan

Emisi runtuk tidak berkesudahan

Sedang aku menuntut ulang

Terjerat diksi tidak beraturan.

 

 

 

Mimpimu  mati tak terdaki

 

Mari kita mendaki menuju kulminasi Bimasakti

Sembari melihat,

Pertunjukan panorama asmara melalui proyeksi.

 

Mari menghempaskan diri hingga tinggi, tinggi, tinggi.

Tanpa perlu kembali.

 

Mari lampaui gravitasi

Tanpa peduli diksi sendir-sendiri.

Ayo langkahkan kaki

Sampai hari selesai nanti

 

Ah…semesta ini nona

Saya benar-benar ingin bahagia

 

Binar kadang tertelan awan

Seperti mimpi-mimpi tak bertuan

Pun, singasana langit tampak suram

Sebab banya kisah yang kelam

 

Sepi ini, tuan

Saya sangat ingin tenang