Rubrik Kerdip Lentera merupakan wadah karya bagi seluruh warga SMKN 1 Bojonegoro. Rubrik ini akan terbit pada akhir pekan. Silakan menulis puisi, cerpen, komik, maupun karikatur dikirimkan ke tim Jurnalis. (ilustrasi: www.kompasiana.com)/vol.13
Pembaca yang budiman, berikut ini marilah kita nikmati hasil karya dari Siswi Jurusan Manajemen Perkantoran SMKN 1 Bojonegoro. Selamat membaca.
LABIRIN TANPA AKHIR
Oleh: Walimatus Sholikah
Hujan turun dalam rintik-rintik halus, menari di atas atap dan jendela dengan suara lembut yang menenangkan, menyelimuti dunia di luar dengan keheningan yang penuh rasa damai. Angin menghempaskan pohon-pohon, membuat batang mereka bergetar dan daun-daun berdesir seperti bisikan rahasia yang dibawa dari kejauhan. Wajahnya tampak pucat pasi, dengan mata yang tenggelam dan bibir yang terkatup rapat, seolah-olah menyimpan beban kesedihan yang tak tertahankan.
Anjani Pratiwi, itulah namanya. Parasnya yang cantik nan indah seperti Dewi Anjani, penguasa Gunung Rinjani. Sorot teduh matanya mampu menyihir siapa pun yang menatapnya. Saat angin berbisik lembut, rambutnya yang hitam legam dan panjang melambai seperti selendang gelap, menyatu dengan bayangan dan cahaya temaram yang menembus celah-celah pohon. Kulitnya berwarna cokelat muda, seperti tanah lembut yang baru saja disiram hujan, mencerminkan ketenangan dan kedalaman jiwa yang tenang.
Terduduk, terdiam, termenung dengan tatapan kosong. Ia menatap langit dengan penuh harap dan pedih.
“Sampai kapan aku harus bertahan Tuhan” ucap pilu Anjani.
Angin dari balkon kamar menerpa wajah teduh Anjani, menghapus jejak air mata yang tersisa. Ia tak tahu harus berbuat apa. Setelah 2 hari yang lalu kehilangan orang yang dicintainya, ialah Nenek Anjani yang telah merawat Anjani sedari kecil kini harus perpulang meninggalkan Anjani seorang diri. Ayah ibunya sudah berpisah sejak Anjani berumur lima tahun. Sejak itulah Ia diasuh dan dirawat oleh Neneknya.
Terdengar decitan pintu yang menandakan ada seseorang yang mencoba masuk ke dalam ruangan.
“Anjani dimana kamu” suara teriakan terdengar memekik di telinga Anjani.
‘Ayah, itu suara Ayah’ batin Anjani.
Anjani segera bangkit dari ubin dingin balkon kamar menuju sumber suara. Ia berjalan tergesa-gesa sembari menata rambutnya yang berantakan.
Terlihat sosok laki-laki bertubuh tegap dengan raut wajah merah padam menahan gejolak amarah yang amat sangat dalam. Amarah, kebencian terpancar dari tatapan matanya.
Benar. Sosok laki-laki itu ialah Damian Aditya, Ayah Anjani. Ayah yang telah tega meninggalkan dan membuang Anjani selayaknya sampah. Anjani berlari memeluk laki-laki berbadan tegap sembari menitikan air mata, tanda keharuan dan kerinduan yang selama ini Ia pendam.
“Ini benarkah Ayah?”
“Ayah kemari datang untuk Anjani?” tanya Anjani bertubi-tubi diiringi tumpahan air mata menghiasi wajah cantiknya.
Damian merasa ada desiran aneh ketika Anjani memeluk tubuhnya. Seperti isyarat akan kerinduan seorang anak pada Ayahnya.
“Lepaskan saya Anjani, berani-beraninya kamu memeluk saya” ucap Damian.
Anjani sontak melepaskan pelukan pada Ayahnya. Ia menerka-nerka pasti ada sesuatu yang membuat Ayahnya sebegitu emosi.
‘Ada apa dengan Ayah’ batinnya.
“Anak tak tahu diuntung. APA YANG KAMU LAKUKAN HINGGA IBU SAYA MENINGGAL, HAHH” sentak Damian.
“JAWAB ANJANI, KENAPA KAMU DIAM” lanjutnya.
“Anjani tak melakukan apapun Ayah” jawab Anjani menimpali.
“Jangan berlagak bodoh kamu Anjani” balas Damian.
“Bodoh kata Ayah?” tanya Anjani keheranan.
“Bukankah Ayah yang selama ini menelantarkan Anjani dengan Nenek?”
“Bukankah Ayah yang tak peduli ketika Nenek jatuh sakit?”
“Siapa disini yang terlihat bodoh, Anjani atau Ayah?” ujarnya dengan lantang pada Damian.
PLAKK
Tamparan keras Damian berikan pada Anjani. Ia merasakan rasa sakit di pipi kanan yang mendalam ketika tamparan ayahnya mendarat disana. Wajahnya memerah, dan rasa sakit fisik seolah bergabung dengan luka emosional yang menusuk. Kepalanya bergetar, Ia berdiri tertegun, terbelalak oleh kenyataan yang baru saja terjadi.
“KURANG AJAR KAMU ANJANI, BERANI KAMU BERKATA SEPERTI ITU PADA AYAH” bentak Damian tak terima.
Damian tak percaya akan kata-kata yang Anjani lontarkan. Bisa-bisanya seorang Anjani, anak yang dulu Damian kenal penurut dan lemah lembut, sekarang berani memaki Ayah kandungnya sendiri.
“Pasti kamu memberi racun di minuman Ibu saya. Dasar anak pembawa sial, setiap ada yang didekatmu pasti nasibnya selalu sial” hardik Damian pada Anjani.
“Saya menyesal telah membiarkan Ibu saya merawat anak pembawa sial sepertimu” lanjut Damian tak berperasaan sembari menuding wajah Anjani.
“Anjani minta maaf Ayah” pintanya pada Damian.
“Ayah dengerin penjelasan Anjani dulu, dengerin Anjani dulu Ayah” lanjutnya dengan penuh harap.
Damian pergi dengan mengendarai mobil mewah miliknya tanpa menghiraukan panggilan Anjani. Kekecewaan Damian terhadap Anjani makin membuncah, membuatnya semakin muak menatap anak semata wayangnya.
Anjani menundukkan kepala dengan tubuh bergetar, tertegun dan hancur hati setelah ayahnya melepaskan kata-kata tajam yang penuh kemarahan. Air matanya kembali luruh bersama kekecewaan yang Ia rasa. Setiap makian yang dilontarkan seperti sabetan pisau yang terus menggores luka di jiwanya. Rasa sakit dan kesedihan yang mendalam menyelimuti dirinya, membuatnya merasa seperti dunia di sekelilingnya runtuh dan menghilangkan semua harapan yang ada. Sosok yang harusnya menjadi pelindung dirinya, malah menjadi laki-laki pertama yang menghancurkan hatinya.
****
Suasana sore hari yang sejuk menyelimuti taman kota dengan ketenangan, di mana angin lembut berhembus dan langit memamerkan gradasi warna oranye dan merah muda, menciptakan momen yang damai dan menenangkan. Suara gemericik dari pancuran air membuat jiwanya merasa diselimuti oleh ketenangan, membawanya seakan-akan masuk ke dimensi lain. Hanya ada ketenangan dan kesunyian.
Di taman ini, Anjani melepas segala kepenatan dalam dirinya. Menghempaskan segala hal yang menjadi beban batin maupun fisik. Semenjak ditinggal oleh Neneknya, Ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja untuk menghidupi dirinya yang saat ini sebatang kara. Ia bersenandung ria tanda hati sedang riang gembira.
Suara sepatu mengetuk-ngetuk lantai taman kota, menandakan Anjani sedang berjalan menelusuri sekitarnya. Tak jarang Ia menyapa orang-orang yang juga berada di taman itu, mulai dari lansia, balita dengan orang tuanya, serta remaja seumurannya. Anjani tak sadar ada balita yang berlari ke arahnya. Bisa kalian bayangkan apa yang akan terjadi pada keduanya. Tepat sekali dan…
BRUKK
Balita itu terjatuh tepat di bawah kaki Anjani. Anjani yang kaget dengan kejadian itu seketika langsung menunduk tepat ke arah balita itu jatuh. Ia menyetarakan tingginya dengan si balita dan membantunya untuk segera berdiri.
(mengangkat kepala, matanya berbinar) “M-maaf kak, Dean ga sengaja” jawab Dean.
Dari kejauhan, seorang pria tampan terlihat berlari menghampiri seorang balita kecil yang sedang mengobrol dengan Anjani.
“Dean, daddy cariin kamu kemana-mana loh” ujar pria itu yang ternyata ialah Ayah Dean.
‘Ohh namanya Dean ternyata’ batin Anjani.
“Jagoan daddy, ada yang sakit ngga?” tanya pria itu terlihat khawatir.
“Dean is fine, dad” balas Dean tak ingin membuat pria itu khawatir.
“Maafkan anak saya yang telah menabrakkan dirinya pada kaki Anda” ujar pria itu.
“Tidak mengapa, Pak” balas Anjani dengan senyuman manis.
“Ya sudah saya pamit dulu, permisi” ujar pria itu sembari menggendong anaknya.
Anjani cukup lama menatap dan mendengar percakapan pria dan balita mungil itu. Perlahan bayangan Dean dan ayahnya menghilang meninggalkan Anjani seorang diri. Kekhawatiran pria itu pada anaknya mengingatkan Anjani pada sosok Damian. Anjani ingin sekali diperhatikan dan dikhawatirkan seperti Dean, tapi sepertinya datang ajal menjemput pun Anjani tak akan pernah merasakan kehangatan serta kepedulian sosok Damian.
****
Sepanjang perjalanan pulang, Anjani terus dan terus memikirkan Damian. Anjani terduduk di bawah rintik hujan yang semakin deras, air mata membasahi pipinya saat ia memikirkan sosok ayahnya, setiap tetesan hujan seolah menambah kedalaman rasa rindu dan kesedihannya. Bagaimanapun tingkah laku Damian terhadapnya, Damian tetaplah Ayahnya.
“Tuhan, ambillah nyawaku, agar aku tak merasakan semua rasa sakit ini” teriak Anjani di tengah derasnya hujan yang melanda jalanan, menimbulkan bau khas dari aspal yang terkena air hujan.
Tangisan pilu Anjani menggambarkan kekecewaan yang mendalam terhadap Ayahnya, seolah semua harapan dan impian yang ia simpan tentang sosok Ayah kini runtuh dalam sekejap. Akan tetapi Anjani sadar,bagaimana pun keadannya, hidup akan terus berjalan, dengan atau tanpa orang yang kita inginkan. Tinggal memilih, hidup dengan seutuhnya (dengan penuh kesadaran) atau hidup dengan angan dari bayang-bayangnya.
Pembaca yang budiman, berikut ini marilah kita nikmati puisi hasil karya dari Bapak Yan Y an Al Jauhari guru SMKN 1 Bojonegoro. Selamat membaca.
Salah Arah
Bagaimana rasa itu datang tiba-tiba tanpa aba-aba
Membelai secarik rindu yang dulu pernah candu
Mengusap kisah yang tak pantas di gubah
Mengendap melintasi pekat gelap
Lalu..
Menusuk ulu hati, mencengkram erat, mengoyak, mencabik.
Mengapa aku tak kuasa mengingkarinya?
Bahkan lidahku kaku kelu untuk mengatakan tidak
Mengapa aku biarkan engkau merajai ?
Mengapa aku pasrah engkau menghujam ?
Namun..
Jika kau ingin melompat, aku rela jadi batu pijak meski tak bijak
Jika kau ingin merengkuh bintang, aku rela jadi galah meski pasti patah
Jika kau ingin terbang, aku siapkan sayap meski tak kepak
Jika kau ingin …..
Semua salahku sendiri
November 24
Rumpang
Antara litotes dan hiperbola, mana yang kau benci
Dari prolog atau epilog, mana yang dipelajari
Gurindam atau pantun, mana yang memukau
Prosa atau puisi, siapa yang lebih dulu pergi
Antara khilaf dan insyaf, siapa yang beruntung
Pada datang dan hilang, apa yang mungkin dapat diingkari
Bahkan jika pena tak sanggup lagi menata aksara
Bahkan jika mata tak mampu lagi linangkan bayu
Bahkan manakala timur dan barat beradu
Aku tetap mendambamu, wahai puan bermata jeli.
Oktober 24
===============================================================================
Yan Yan Al Jauhari, mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sejak dahulu menyukai musik, sastra, dan bercanda.
Leave a Reply